FU Media, Fatchul Ulum Pacet
Goresan Penaku, Kalau Bukan Dengan Menulis Dan Mengadu Pada Tuhan, Bagaimana Lagi Aku Harus Mengutarakan Keluh Dan Kesahku Yang Memutari Fikiran. Teman-teman Sudah Pulas Dalam Tidurnya, Ustad/Ustadzah Sudah Meluruskan Kaki Yang Lelah Mengurusi Santri. “Ayo, Tidur-tidur! Sudah Malam” Perintah Ustadzah Kepada Kami Sembari Beranjak Meninggalkan. “Baik Ustadzah” Jawab Kami Serempak “Risma, Aku Tidur Dulu Ya. Kamu Masih Mau Menulis?” Kata Nur. “Iya Nur, Kamu Tidur Dulu Aja” Aku Risma. Dan Dia Nur, Teman Satu Kamarku. Kami Sering Kemana-mana Berdua. Tidurpun Kami Bersebelahan.
Teman-teman Satu Kamarku Sudah Pulas Terlelap Dalam Tidur, Sedang Aku Masih Melanjutkan Menulis, Hanya Tulisan Ini Yang Mampu Menguatkan Aku, Jikalau Betapa Rindunya Aku Terhadap Umi Dan Abiku. Bertahun-tahun Nyantri Tak Mengalahkan Tangis Kala Aku Mengingat Rumah, Semoga Abi Dan Umi Sehat Selalu. Dalam Qiyamul Lail Selalu Kuselipkan Do’a Terbaikku Kepada Keduanya. Dahulu Memang Marah Dan Kecewa, Aku Tak Pernah Setuju Dengan Mereka, Memaksaku Untuk Berkumpul Dengan Orang-orang Baru, Tempat Baru, Keadaan Baru, Kutinggalkan Rumah Dan Kasur Empukku, Jauh Dari Kasih Sayang Mereka Secara Langsung. Namun Kini Telah Terganti Dengan Tipisnya Sajadah Yang Tergelar Di Lantai Masjid. Kumulai Hidup Dari Sini, Hidup Perih Dan Berjuang Dalam Keterbatasan. Sudah Habis Waktu-waktu Bermainku Dengan Kawan Rumahku. Kini Telah Terganti Dengan Ibadah Dan Dzikir KepadaNya. Dan Dari Sini Aku Mulai Paham. Dalam Tidur Kecilku, Kusempatkan Mengucapkan Dzikir Yang Mampu Menghilangkan Sedikit Derita.
Malam Memang Terasa Panjang, Tapi Tidak Denganku, Tidurku Terasa Sangat Sebentar. Ustad-Ustadzah Sudah Buru-buru Membangunkan Dan Menyuruh Mendekat PadaNya, Sang Pembuat Alam Semesta Dan Samudra, Tempat Meminta Segalanya. “Tok.. Took..tok..” Suara Pintu Diketuk Oleh Pengurus Keamanan Yang Biasanya Bertugas Membangunkan Kami. “Ayo, Bangun Bangun!! Qiyamul Lail..” Lanjutnya Nur Yang Bangun Terlebih Dahulu Segera Membuka Pintu Kamar Dan Membangunkan Kami Semua. Ia Memang Terkenal Santri Yang Rajin Di Antara Kami Satu Kamar Yang Berisi 12 Orang. Seiring Mereka Yang Masih Asyik Dengan Mimpinya, Santri Telah Memulai Semua Aktivitasnya Bahkan Sebelum Fajar Menyapa.
Tiada Hari Yang Tak Pernah Lupa Membawa Bulpen, Buku Dan Kitab, Kerudung Dan Sarung Lusuh Menjadi Tanda Kesederhanaan. Tiada Lagi Makan Rumahan Yang Khas. Kini Telah Terganti Dengan Masakan Tangan Ala Santri Sendiri. Namun Ketika Semua Terlewati Dengan Perlahan-lahan Dan Pasti Semua Indah, Tak Terasa Perlahan Marahku Mereda, Kecewaku Sedikit Menghilang Karena Aku Telah Menemukan Mereka Yang Luar Biasa. Mereka Yang Menjelaskan Bahwa Abi Dan Umi Adalah Cinta Sejati, Para Kyai Yang Wajahnya Ikhlas Tak Bertepi, Ustadz-ustadzah Yang Telah Mengisi Menggantikan Abi Dan Umi Di Rumah, Teman-teman Yang Raganya Sangat Kuat Untuk Bersandar, Kala Rizqi Yang Diujung Tepi Dan Suasana Yang Nyaman Untuk Mendekatkan Pada Illahi Dan Kanjeng Nabi. Abi, Umi Ketika Aku Dahulu Marah Dan Kecewa Itulah Sebab Karena Aku Belum Tahu. Kini Aku Bersyukur Seluas Semesta Sebab Abi Dan Umi Mengirimku Ke Penjara Suci. Maafkan Aku Jika Dahulu Aku Marah Dan Kecewa. Kini Keluh Dan Kesah Telah Sedikit Terkubur Beralih Dengan Semangat Menjalani Hari. Semoga Aku Kuat Dan Tabah Sampai Di Akhir Aku Sudah Waktunya Menaiki Panggung Wisuda. (Salwa Syah, Eva Annisa)